Monday, July 20, 2015

Allah di Harvard



Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme. Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini." "Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran. "Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad, perang suci, dan terorisme?"
Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang." Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.

Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.

Beberapa tahun terakhir ini, konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa Islamlah yang menyebabkan semua itu.

Pemahaman semacam itu bukan saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira, satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.

Sebenarnya analisis itu juga bisa dibalik. Tengoklah Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat. Dia pikir, yang dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen. Padahal yang dilakukan adalah perbuatan keji. Memang ada usaha untuk menjaga jarak antara perbuatannya dengan ajaran Kristen, karena tentu saja yang dilakukan Hitler lama sekali bukan tindakan yang dapat diterima oleh nilai-nilai Kristen.

Pada suatu masa, bangsa-bangsa Arab pernah menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol. Mereka memerintah hingga tujuh abad lamanya. Belakangan, Turki muncul dan menjadi ancaman bagi Eropa Timur. Jadi, saya pikir Eropa selalu sadar akan adanya sejumlah kelompok Muslim yang datang dari kiri kanannya. Dan tentu saja, bangsa-bangsa Muslim itu melakukan ekspansi tak lebih karena kepentingan pertumbuhan yang normal saja bagi sebuah kerajaan.

Patut dicatat bahwa penaklukan yang dilakukan oleh negeri-negeri Arab sama sekali bukan perang untuk memaksa rakyat untuk pindah agama, melainkan karena kepentingan politik. Namun banyak orang yang mengaitkannya dengan Islam, seraya menyebut-nyebut istilah "Tentara Islam". Mereka pikir satu-satunya motivasi orang-orang Arab dan Turki ketika itu adalah agama, tanpa menyadari bahwa mereka juga sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya, yang punya kepentingan politik. Mereka juga ingin kekayaan, sebagaimana kerajaan-kerajaan Eropa menginginkannya. Kalau ada peluang untuk ekspansi, mereka akan melakukannya.

Namun, saya kira ada yang beranggapan bahwa ada masyarakat tertentu, penganut suatu kepercayaan yang anti-Barat, dan menghalalkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan. Padahal, kalaupun Anda tengok sejarah kekuasaan Arab di Spanyol, tak pernah terjadi pemaksaan untuk bertukar agama menjadi Islam. Penganut Yahudi, Islam, dan Kristen tetap hidup berdampingan. Sebaliknya, ketika Katolik datang mengambil alih kekuasaan, Muslim dan Yahudi memperoleh tekanan.

Dalam sejarah konflik dan pertentangan inilah muncul stereotip-stereotip yang tak seharusnya terjadi. Stereotip menutupi segi-segi kemanusiaan yang utuh dari pihak lain. Kalau Anda pikir sekelompok orang sebagai orang-orang barbar, maka Anda tak akan lagi melihat  mereka sebagai  manusia biasa, yang mempunyai begitu banyak sisi. Dan kalau Anda  pikir masyarakat Muslim berbeda dengan lainnya, karena satu-satunya yang membuat mereka hidup adalah agama, berarti mereka adalah jenis manusia yang berbeda. Mereka tak punya perasaan yang sama seperti manusia lainnya. Dengan begitu, maka Anda dapat memperlakukannya semau Anda.

Pada abad-abad kedelapan belas, kesembilan belas, dan awal abad kedua puluh, ketika Eropa memerintah negeri-negeri Muslim, maka struktur kekuasaan berubah total. Ketika itu orang-orang Inggris memandang rendah penduduk asli. Perancis yang menguasai penduduk Muslim di Afrika Barat berpikir bahwa tugasnya adalah membuat orang-orang Muslim itu lebih beradab.

Jadi, ada pemahaman bahwa Islam merupakan ajaran yang primitif karena dikaitkan dengan kondisi sosial budaya rakyat yang ditaklukannya. Masalah serupa juga dihadapi oleh Muslim di negeri-negeri Eropa dewasa ini. Di Perancis misalnya, imigran Arab dari Afrika Utara, atau orang-orang keturunan Turki di Jerman, sering kali dianggap masih primitif.

Hal-hal yang dialami oleh Muslim di Amerika tak terjadi di tempat-tempat lainnya. Karena Amerika adalah negeri imigran, di sini Anda menyaksikan Muslim dari segala penjuru dunia, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pemahaman mereka tentang Islam juga sangat beragam, karenanya sering kali ada pertentangan, tetapi juga ada upaya untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan itu.

Kini saatnya untuk bertanya: Apa sih artinya menjadi seorang Muslim? Kalau Anda pakai Islam sebagai ideologi politik, maka menjadi perlu untuk mendefinisikan siapa Muslim itu, bagaimana perilaku Muslim dan juga yang bukan Muslim. Dan kalau analisis dan pemahaman semacam ini Anda teruskan, maka Anda mendekati bahaya menafsirkan Islam secara bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

Al-Quran menyebut bahwa tak ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya shalat lima waktu. Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi shalat jika waktunya tiba. Itu bukan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai alat politik.

Di banyak tempat di dunia Muslim, Anda temukan negara-negara yang mencoba mendefinisikan siapa Muslim dan siapa yang bukan Muslim, dan juga bagaimana perilaku yang Islami. Tetapi, di negeri ini, Amerika, Anda dapat menjadi seorang Muslim dan membicarakannya dengan sesama Muslim, tanpa ada seorang pun yang memaksa Anda untuk bergabung dengan kelompok mana pun. Inilah salah satu kehebatan Muslim di sini.

Dalam beragama, Anda membutuhkan dinamika, dan saya kira inilah yang sedang terjadi di Amerika. Bagi kelompok imigran, Islam masih merupakan tradisi dan istilah yang relatif baru. Dan masyarakat terus menerus melakukan pembenahan, belajar mengorganisasi kemajemukan dalam Islam. Ada usaha untuk lama-lama menyadari bahwa untuk menjadi seorang Muslim, kita dapat melalui banyak jalan, tanpa harus menghakimi satu lama lain.

Jihad saya sendiri meliputi dua hal: pertama, memahami standar ganda bagaimana Islam digambarkan di Barat; dan kedua, perjuangan untuk membuat kaum Muslimin memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi Muslim. Syahadat itu ibarat sebuah tali yang menyatukan biji-biji tasbih. Semuanya tergabung menjadi satu dengan tali itu. Meskipun warnanya berbeda satu sama lain, biji-biji itu tetap merupakan satu kesatuan.

Beberapa tahun lalu, ada seorang Imam dari Islamic Center di New England. Dia seorang Sunni keturunan Lebanon, dan menjadi mahasiswa di sini. Dia diterima di Fakultas Teologi Harvard University untuk program master. Suatu ketika dia mengambil mata kuliah saya, "Pengantar Islam". Dia juga alumni Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika pertama kali bertemu dia saya katakan, "Apa ini masuk akal, seorang Imam dan Alumni Al-Azhar mengambil mata kuliah Pengantar Islam?" Kenapa tidak, katanya.

Di Al-Azhar, dia belajar Islam dengan interpretasi tertentu, yang amat berorientasi pada syariat, sebuah pandangan Sunni yang sangat klasik. Sedang dalam mata kuliah saya, mahasiswa diajak memahami berbagai jalan untuk menjadi Muslim. Kami mendiskusikan Al-Quran, kehidupan Muhammad Rasulullah. Kami mempelajari bagaimana Muslim menginterpretasikan banyak hal. Kami juga belajar bagaimana ahli sejarah agama yang tak memeluk Islam memandang Al-Quran dan figur Rasulullah. Di samping itu kami juga mempelajari berbagai aliran dalam Islam seperti Sunni, Syi'ah, dan berbagai etnik lain, terutama di negara-negara non-Arab.

Jadi itu merupakan pendekatan akademis Barat dalam memahami Islam dengan konteks yang amat luas. Kami juga mengkaji gerakan-gerakan Islam modern seperti Wahabbi di Saudi Arabia, reformasi di Afrika Barat, kasus Turki dan eksperimennya dengan Islam. Dan kami bicarakan juga hubungan Islam dan suku bangsa --di Amerika Serikat dan di Eropa. Jadi, saya pikir tak ada salahnya kalau seorang Imam seperti dia mempelajari banyak sisi tentang Islam. Semula saya sempat khawatir, apakah dia mau bersikap terbuka. Ternyata dia sungguh-sungguh serius, dan menulis beberapa makalah bagus.

Banyak Muslim yang memandang kemajemukan sebagai suatu ancaman, karena mereka pikir kalau setiap orang bisa mengaku Muslim, bisa-bisa kita kehilangan identitas yang paling mendasar sebagai seorang Muslim. Padahal, sesungguhnya kemajemukan merupakan sebuah kekuatan.

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hak setiap Muslim untuk menafsirkan keimanannya dan perlunya menggunakan argumen yang logis untuk itu. Saya kira salah satu kekuatan dari masyarakat Islam generasi pertama, pada masa Rasul, adalah adanya kemajemukan pendapat, pandangan, dan banyaknya diskusi tentang berbagai pandangan itu.
Ada lagi sebuah hadis yang  menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan ijtihad. Suatu saat, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul: "Bagaimana kalau seseorang menafsirkan sesuatu dan ternyata benar?" Rasul berkata bahwa dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihad itu salah, dia masih memperoleh satu pahala. Karena telah berusaha untuk itu.

Pada akhir semester, saya meminta mahasiswa yang Imam itu menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari mata kuliah ini. Dia katakan, salah satu hal yang paling bermanfaat adalah bahwa dia belajar bagaimana berbicara tentang Islam dengan masyarakat Barat. Sering kali kita menyaksikan seorang Imam asal Timur Tengah diwawancarai media setiap ada kejadian yang berhubungan dengan Islam. Sayang, banyak di antara mereka yang tak dapat membahasakan perspektif Islam dengan idiom-idiom Amerika. Mereka selalu memberikan kesan atau pesan yang kurang pas. Tentu saja media masa senang dengan hal-hal semacam itu, karena makin mendukung stereotip. Beberapa waktu kemudian saya membaca sebuah media yang mengutip wawancara dengan Imam yang pernah jadi mahasiswa saya itu. Dia melakukannya dengan baik.

Untuk dapat berkomunikasi dengan jamaah yang amat beragam latar belakangnya --banyak di antaranya yang berpendidikan tinggi-- Anda harus dapat berbicara dengan bahasa mereka, dan jika Anda tak memiliki latar belakang pengetahuan seperti mereka, pembicaraan Anda tak akan menarik minat mereka.

Di Amerika, kantor-kantor Imam juga dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan ruang kerja pendeta ataupun pastur. Dia bertutur pada saya: "Kegiatan yang saya lakukan disini tak bisa dibandingkan dengan tugas-tugas saya di Timur Tengah. Rasanya seperti jadi pendeta."

Pengalaman lain yang amat memalukan ada hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai profesor agama Islam di Universitas ini. Baru-baru ini saya mengadakan kunjungan tiga minggu bersama alumni Harvard dan Yale ke Asia Selatan dan Timur Tengah. Kami menumpang sebuah kapal pesiar. Kapal itu bernama "The Great Trade Routes of the Indian Ocean and the Arabian Sea." Kami singgah di beberapa negara, mengunjungi banyak pelabuhan. Di atas kapal, tugas saya adalah mengajar sejarah, kebudayaan, bahasa, dan literatur wilayah-wilayah yang kami singgahi. Selama dua pekan lamanya saya menikmati berada di tengah-tengah mereka. Mereka juga tampak menikmati perjalanan itu, dan rasa ingin tahu mereka begitu tinggi. Pada salah satu sesi, saya memberi kuliah tentang Islam, mencoba menghapus stereotipnya.

Dalam perjalanan ke Jeddah dengan bus, kami melintasi sebuah bangunan masjid megah bercat putih. Masjid itu memiliki halaman depan yang cukup luas, dan ketika bus melintas di depan halaman itu si pemandu wisata bertutur: "Di halaman itulah setiap Jumat terjadi eksekusi." Para peserta pun lantas bertanya, "Eksekusi macam apa?" Dia jelaskan bahwa di situ dilakukan eksekusi dengan memenggal kepala, menggunakan pedang. "Itu dilakukan di depan umum," tambahnya. Hanya pada bulan Ramadhan eksekusi itu tak dilangsungkan. Kebetulan kami datang pada bulan Ramadhan. Dan salah seorang yang duduk di sebelah saya berujar, "Wah sayang sekali kita datang ke sini bukan pada 'Jumat berdarah'."

Inilah Arab Saudi. Negeri itu berusaha keras untuk memperbaiki citra Islam. Tetapi yang ditampilkan oleh masyarakat Arab malahan sebaliknya. Buklet tentang Islam memang mereka terbitkan dengan penampilan yang luar biasa indah. Sayang, dengan prihatin harus saya katakan bahwa Arab adalah bangsa yang paling banyak merugikan Islam, sekurang-kurangnya di mata publik. Saya merasa seluruh perjalanan saya dan apa pun yang saya lakukan, menjadi sia-sia. Kita dapat mengatakan apa pun kepada mereka, tetapi hal yang paling melekat di hati mereka adalah cerita tentang apa yang terjadi di halaman masjid megah bercat putih itu.

Ketika kami melintasi masjid itu, semua kamera pun lantas dimainkan. Dan Anda dapat bayangkan ketika mereka menunjukkan gambar hasil jepretannya kepada teman-teman di Amerika, sambil bercerita tentang eksekusi itu.

Citra adalah sesuatu yang sulit lepas dari ingatan manusia. Yang akan paling diingat tentang Timur Tengah adalah cerita tentang masjid dan eksekusi. Juga citra suatu masyarakat yang begitu represif. Tentang peran wanita. Mereka terheran-heran. Mereka bertanya kenapa kaum wanita tak boleh pergi ke Masjid. Padahal, tak ada satu pun ayat dalam Al-Quran yang melarang perempuan pergi ke Masjid, dan begitu pula tak ada satu pun hadis yang mengatur tentang itu. Sejarah juga menunjukkan bahwa di zaman Nabi, kaum wanita juga pergi ke Masjid. Dan saya berulang kali menjelaskan kepada mereka, "Di Amerika, para wanita pergi ke masjid dengan bebas."

Saya berharap mereka akan mengingat beberapa hal yang pernah saya ajarkan. Kami telah berusaha membedakan antara Islam sebagai sebuah agama dan keimanan dengan Islam sebagai ideologi politik.

Seorang wanita bertutur pada saya,"Al-Quran boleh saja mengatakan apa yang boleh dan apa yang tak boleh. Tetapi Muslim menjalankannya dengan cara mereka sendiri, dan itulah Islam, yang dipraktekkan dan kita lihat sehari-hari."
Yah, mau bilang apa lagi?
Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama uuniversitas-universitas terkemuka. Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya. Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.

No comments:

Post a Comment