Saya mempunyai seorang
mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur
pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor
saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme.
Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan
kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu
tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan
saya yang satu ini." "Pertanyaan apa itu?", tanya saya
penasaran. "Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu
amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad, perang
suci, dan terorisme?"
Kalau Anda buka kamus bahasa
Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci
" di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan
'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti
"bekerja keras" atau "berjuang." Jadi kalau Anda berusaha
keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau
Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan
jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus,
dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.
Sayangnya, sering kali umat
Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang
dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang
sangat indah telah disalahartikan.
Beberapa tahun terakhir ini,
konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang
menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun
antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan
agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya
seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa
Islamlah yang menyebabkan semua itu.
Pemahaman semacam itu bukan
saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan
seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh
kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira,
satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.
Sebenarnya analisis itu juga
bisa dibalik. Tengoklah Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat. Dia
pikir, yang dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen.
Padahal yang dilakukan adalah perbuatan keji. Memang ada usaha untuk menjaga
jarak antara perbuatannya dengan ajaran Kristen, karena tentu saja yang
dilakukan Hitler lama sekali bukan tindakan yang dapat diterima oleh nilai-nilai
Kristen.
Pada suatu masa,
bangsa-bangsa Arab pernah menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol. Mereka
memerintah hingga tujuh abad lamanya. Belakangan, Turki muncul dan menjadi
ancaman bagi Eropa Timur. Jadi, saya pikir Eropa selalu sadar akan adanya
sejumlah kelompok Muslim yang datang dari kiri kanannya. Dan tentu saja,
bangsa-bangsa Muslim itu melakukan ekspansi tak lebih karena kepentingan
pertumbuhan yang normal saja bagi sebuah kerajaan.
Patut dicatat bahwa
penaklukan yang dilakukan oleh negeri-negeri Arab sama sekali bukan perang
untuk memaksa rakyat untuk pindah agama, melainkan karena kepentingan politik.
Namun banyak orang yang mengaitkannya dengan Islam, seraya menyebut-nyebut
istilah "Tentara Islam". Mereka pikir satu-satunya motivasi orang-orang
Arab dan Turki ketika itu adalah agama, tanpa menyadari bahwa mereka juga sama
seperti kerajaan-kerajaan lainnya, yang punya kepentingan politik. Mereka juga
ingin kekayaan, sebagaimana kerajaan-kerajaan Eropa menginginkannya. Kalau ada
peluang untuk ekspansi, mereka akan melakukannya.
Namun, saya kira ada yang
beranggapan bahwa ada masyarakat tertentu, penganut suatu kepercayaan yang
anti-Barat, dan menghalalkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Padahal, kalaupun Anda tengok sejarah kekuasaan Arab di Spanyol, tak pernah
terjadi pemaksaan untuk bertukar agama menjadi Islam. Penganut Yahudi, Islam,
dan Kristen tetap hidup berdampingan. Sebaliknya, ketika Katolik datang
mengambil alih kekuasaan, Muslim dan Yahudi memperoleh tekanan.
Dalam sejarah konflik dan
pertentangan inilah muncul stereotip-stereotip yang tak seharusnya terjadi.
Stereotip menutupi segi-segi kemanusiaan yang utuh dari pihak lain. Kalau Anda
pikir sekelompok orang sebagai orang-orang barbar, maka Anda tak akan lagi melihat
mereka sebagai manusia biasa, yang mempunyai begitu banyak
sisi. Dan kalau Anda pikir masyarakat
Muslim berbeda dengan lainnya, karena satu-satunya yang membuat mereka hidup
adalah agama, berarti mereka adalah jenis manusia yang berbeda. Mereka tak
punya perasaan yang sama seperti manusia lainnya. Dengan begitu, maka Anda
dapat memperlakukannya semau Anda.
Pada abad-abad kedelapan
belas, kesembilan belas, dan awal abad kedua puluh, ketika Eropa memerintah
negeri-negeri Muslim, maka struktur kekuasaan berubah total. Ketika itu
orang-orang Inggris memandang rendah penduduk asli. Perancis yang menguasai
penduduk Muslim di Afrika Barat berpikir bahwa tugasnya adalah membuat
orang-orang Muslim itu lebih beradab.
Jadi, ada pemahaman bahwa
Islam merupakan ajaran yang primitif karena dikaitkan dengan kondisi sosial
budaya rakyat yang ditaklukannya. Masalah serupa juga dihadapi oleh Muslim di
negeri-negeri Eropa dewasa ini. Di Perancis misalnya, imigran Arab dari Afrika
Utara, atau orang-orang keturunan Turki di Jerman, sering kali dianggap masih
primitif.
Hal-hal yang dialami oleh
Muslim di Amerika tak terjadi di tempat-tempat lainnya. Karena Amerika adalah
negeri imigran, di sini Anda menyaksikan Muslim dari segala penjuru dunia,
dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pemahaman mereka tentang Islam juga
sangat beragam, karenanya sering kali ada pertentangan, tetapi juga ada upaya
untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan itu.
Kini saatnya untuk bertanya:
Apa sih artinya menjadi seorang Muslim? Kalau Anda pakai Islam sebagai ideologi
politik, maka menjadi perlu untuk mendefinisikan siapa Muslim itu, bagaimana
perilaku Muslim dan juga yang bukan Muslim. Dan kalau analisis dan pemahaman
semacam ini Anda teruskan, maka Anda mendekati bahaya menafsirkan Islam secara
bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.
Al-Quran menyebut bahwa tak
ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan
menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya shalat lima
waktu. Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus
menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi shalat jika waktunya tiba. Itu bukan
ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai
alat politik.
Di banyak tempat di dunia
Muslim, Anda temukan negara-negara yang mencoba mendefinisikan siapa Muslim dan
siapa yang bukan Muslim, dan juga bagaimana perilaku yang Islami. Tetapi, di
negeri ini, Amerika, Anda dapat menjadi seorang Muslim dan membicarakannya
dengan sesama Muslim, tanpa ada seorang pun yang memaksa Anda untuk bergabung
dengan kelompok mana pun. Inilah salah satu kehebatan Muslim di sini.
Dalam beragama, Anda
membutuhkan dinamika, dan saya kira inilah yang sedang terjadi di Amerika. Bagi
kelompok imigran, Islam masih merupakan tradisi dan istilah yang relatif baru.
Dan masyarakat terus menerus melakukan pembenahan, belajar mengorganisasi
kemajemukan dalam Islam. Ada usaha untuk lama-lama menyadari bahwa untuk
menjadi seorang Muslim, kita dapat melalui banyak jalan, tanpa harus menghakimi
satu lama lain.
Jihad saya sendiri meliputi
dua hal: pertama, memahami standar ganda bagaimana Islam digambarkan di Barat;
dan kedua, perjuangan untuk membuat kaum Muslimin memahami bahwa ada banyak
jalan untuk menjadi Muslim. Syahadat itu ibarat sebuah tali yang menyatukan
biji-biji tasbih. Semuanya tergabung menjadi satu dengan tali itu. Meskipun
warnanya berbeda satu sama lain, biji-biji itu tetap merupakan satu kesatuan.
Beberapa tahun lalu, ada
seorang Imam dari Islamic Center di New England. Dia seorang Sunni keturunan
Lebanon, dan menjadi mahasiswa di sini. Dia diterima di Fakultas Teologi
Harvard University untuk program master. Suatu ketika dia mengambil mata kuliah
saya, "Pengantar Islam". Dia juga alumni Universitas Al-Azhar, Kairo.
Ketika pertama kali bertemu dia saya katakan, "Apa ini masuk akal, seorang
Imam dan Alumni Al-Azhar mengambil mata kuliah Pengantar Islam?" Kenapa
tidak, katanya.
Di Al-Azhar, dia belajar
Islam dengan interpretasi tertentu, yang amat berorientasi pada syariat, sebuah
pandangan Sunni yang sangat klasik. Sedang dalam mata kuliah saya, mahasiswa
diajak memahami berbagai jalan untuk menjadi Muslim. Kami mendiskusikan
Al-Quran, kehidupan Muhammad Rasulullah. Kami mempelajari bagaimana Muslim
menginterpretasikan banyak hal. Kami juga belajar bagaimana ahli sejarah agama
yang tak memeluk Islam memandang Al-Quran dan figur Rasulullah. Di samping itu
kami juga mempelajari berbagai aliran dalam Islam seperti Sunni, Syi'ah, dan
berbagai etnik lain, terutama di negara-negara non-Arab.
Jadi itu merupakan
pendekatan akademis Barat dalam memahami Islam dengan konteks yang amat luas.
Kami juga mengkaji gerakan-gerakan Islam modern seperti Wahabbi di Saudi
Arabia, reformasi di Afrika Barat, kasus Turki dan eksperimennya dengan Islam.
Dan kami bicarakan juga hubungan Islam dan suku bangsa --di Amerika Serikat dan
di Eropa. Jadi, saya pikir tak ada salahnya kalau seorang Imam seperti dia
mempelajari banyak sisi tentang Islam. Semula saya sempat khawatir, apakah dia
mau bersikap terbuka. Ternyata dia sungguh-sungguh serius, dan menulis beberapa
makalah bagus.
Banyak Muslim yang memandang
kemajemukan sebagai suatu ancaman, karena mereka pikir kalau setiap orang bisa
mengaku Muslim, bisa-bisa kita kehilangan identitas yang paling mendasar
sebagai seorang Muslim. Padahal, sesungguhnya kemajemukan merupakan sebuah
kekuatan.
Terdapat beberapa hadis yang
menjelaskan hak setiap Muslim untuk menafsirkan keimanannya dan perlunya
menggunakan argumen yang logis untuk itu. Saya kira salah satu kekuatan dari
masyarakat Islam generasi pertama, pada masa Rasul, adalah adanya kemajemukan
pendapat, pandangan, dan banyaknya diskusi tentang berbagai pandangan itu.
Ada lagi sebuah hadis yang menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan
ijtihad. Suatu saat, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul: "Bagaimana
kalau seseorang menafsirkan sesuatu dan ternyata benar?" Rasul berkata
bahwa dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihad itu salah, dia masih
memperoleh satu pahala. Karena telah berusaha untuk itu.
Pada akhir semester, saya
meminta mahasiswa yang Imam itu menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari
mata kuliah ini. Dia katakan, salah satu hal yang paling bermanfaat adalah
bahwa dia belajar bagaimana berbicara tentang Islam dengan masyarakat Barat.
Sering kali kita menyaksikan seorang Imam asal Timur Tengah diwawancarai media
setiap ada kejadian yang berhubungan dengan Islam. Sayang, banyak di antara
mereka yang tak dapat membahasakan perspektif Islam dengan idiom-idiom Amerika.
Mereka selalu memberikan kesan atau pesan yang kurang pas. Tentu saja media
masa senang dengan hal-hal semacam itu, karena makin mendukung stereotip.
Beberapa waktu kemudian saya membaca sebuah media yang mengutip wawancara
dengan Imam yang pernah jadi mahasiswa saya itu. Dia melakukannya dengan baik.
Untuk dapat berkomunikasi
dengan jamaah yang amat beragam latar belakangnya --banyak di antaranya yang
berpendidikan tinggi-- Anda harus dapat berbicara dengan bahasa mereka, dan
jika Anda tak memiliki latar belakang pengetahuan seperti mereka, pembicaraan
Anda tak akan menarik minat mereka.
Di Amerika, kantor-kantor
Imam juga dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan ruang kerja pendeta
ataupun pastur. Dia bertutur pada saya: "Kegiatan yang saya lakukan disini
tak bisa dibandingkan dengan tugas-tugas saya di Timur Tengah. Rasanya seperti
jadi pendeta."
Pengalaman lain yang amat
memalukan ada hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai profesor agama Islam di
Universitas ini. Baru-baru ini saya mengadakan kunjungan tiga minggu bersama
alumni Harvard dan Yale ke Asia Selatan dan Timur Tengah. Kami menumpang sebuah
kapal pesiar. Kapal itu bernama "The Great Trade Routes of the Indian
Ocean and the Arabian Sea." Kami singgah di beberapa negara, mengunjungi
banyak pelabuhan. Di atas kapal, tugas saya adalah mengajar sejarah,
kebudayaan, bahasa, dan literatur wilayah-wilayah yang kami singgahi. Selama
dua pekan lamanya saya menikmati berada di tengah-tengah mereka. Mereka juga
tampak menikmati perjalanan itu, dan rasa ingin tahu mereka begitu tinggi. Pada
salah satu sesi, saya memberi kuliah tentang Islam, mencoba menghapus
stereotipnya.
Dalam perjalanan ke Jeddah
dengan bus, kami melintasi sebuah bangunan masjid megah bercat putih. Masjid
itu memiliki halaman depan yang cukup luas, dan ketika bus melintas di depan
halaman itu si pemandu wisata bertutur: "Di halaman itulah setiap Jumat
terjadi eksekusi." Para peserta pun lantas bertanya, "Eksekusi macam
apa?" Dia jelaskan bahwa di situ dilakukan eksekusi dengan memenggal
kepala, menggunakan pedang. "Itu dilakukan di depan umum," tambahnya.
Hanya pada bulan Ramadhan eksekusi itu tak dilangsungkan. Kebetulan kami datang
pada bulan Ramadhan. Dan salah seorang yang duduk di sebelah saya berujar,
"Wah sayang sekali kita datang ke sini bukan pada 'Jumat berdarah'."
Inilah Arab Saudi. Negeri
itu berusaha keras untuk memperbaiki citra Islam. Tetapi yang ditampilkan oleh
masyarakat Arab malahan sebaliknya. Buklet tentang Islam memang mereka
terbitkan dengan penampilan yang luar biasa indah. Sayang, dengan prihatin
harus saya katakan bahwa Arab adalah bangsa yang paling banyak merugikan Islam,
sekurang-kurangnya di mata publik. Saya merasa seluruh perjalanan saya dan apa
pun yang saya lakukan, menjadi sia-sia. Kita dapat mengatakan apa pun kepada
mereka, tetapi hal yang paling melekat di hati mereka adalah cerita tentang apa
yang terjadi di halaman masjid megah bercat putih itu.
Ketika kami melintasi masjid
itu, semua kamera pun lantas dimainkan. Dan Anda dapat bayangkan ketika mereka
menunjukkan gambar hasil jepretannya kepada teman-teman di Amerika, sambil bercerita
tentang eksekusi itu.
Citra adalah sesuatu yang
sulit lepas dari ingatan manusia. Yang akan paling diingat tentang Timur Tengah
adalah cerita tentang masjid dan eksekusi. Juga citra suatu masyarakat yang
begitu represif. Tentang peran wanita. Mereka terheran-heran. Mereka bertanya
kenapa kaum wanita tak boleh pergi ke Masjid. Padahal, tak ada satu pun ayat
dalam Al-Quran yang melarang perempuan pergi ke Masjid, dan begitu pula tak ada
satu pun hadis yang mengatur tentang itu. Sejarah juga menunjukkan bahwa di
zaman Nabi, kaum wanita juga pergi ke Masjid. Dan saya berulang kali
menjelaskan kepada mereka, "Di Amerika, para wanita pergi ke masjid dengan
bebas."
Saya berharap mereka akan
mengingat beberapa hal yang pernah saya ajarkan. Kami telah berusaha membedakan
antara Islam sebagai sebuah agama dan keimanan dengan Islam sebagai ideologi
politik.
Seorang wanita bertutur pada
saya,"Al-Quran boleh saja mengatakan apa yang boleh dan apa yang tak
boleh. Tetapi Muslim menjalankannya dengan cara mereka sendiri, dan itulah
Islam, yang dipraktekkan dan kita lihat sehari-hari."
Yah, mau bilang apa lagi?
Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa
dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam
atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan
agama uuniversitas-universitas terkemuka. Meski nenek
moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di
Kenya. Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang
imigran.
No comments:
Post a Comment