Dr.
Yusuf Al-Qardhawi
Pertanyaan:
Sebagaimana
diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu untuk
menanyakan apa saja
yang berkaitan dengan hokum agama, baik yang bersifat umum
maupun pribadi. Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan mengenai hubungan
seksual antara suami-istri
yang berdasarkan agama, yaitu
jika si istri
menolak ajakan suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau
tidak berdasar. Apakah ada penetapan
dan batas-batas tertentu mengenai hal
ini, serta apakah ada
petunjuk-petunjuk yang berdasarkan syariat Islam untuMk
mengatur hubungan kedua pasangan, terutama dalam masalah
seksual tersebut?
Jawab:
Benar, kita
tidak boleh bersikap malu dalam
memahami ilmu agama, untuk menanyakan
sesuatu hal. Aisyah
r.a. telah memuji wanita
Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat malu untuk
menanyakan ilmu agama.
Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan
lain-lainnya, di hadapan umum ketika di
masjid, yang biasanya dihadiri
oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu,
najasah (macam-macam najis),
mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat
pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut,
yang bagi para ulama
tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara jelas
mengenai hukum-hukum Allah
dan Sunnah Nabi saw.
dengan cara yang
tidak mengurangi kehormatan agama,
kehebatan masjid dan
kewibawaan para ulama.
Hal
itu sesuai dengan
apa yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat
ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar diungkapkan
secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar
dapat dipahami oleh mereka. Sebenarnya,
masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat
besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari
hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan
dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan suami-istri.
Kesalahan yang bertumpuk dapat
mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama
Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan
manusia dan kehidupan
berkeluarga, yang telah diterangkan tentang
perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam
ajaran-ajaran Islam, misalnya
mengenai akhlak, tabiat, suluk,
dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
1.
Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya
tindakan ekstrim yang condong
menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak
menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang
yang berkehendak untuk selamanya
menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah.
Nabi
saw. telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu
dan aku lebih khusyu, kepada Allah
daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi
wanita. Maka, barangsiapa yang tidak
senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."
2.
Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya
dengan cara menerima dorongan akan
masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana keterangan Nabi saw.: "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)."
Para sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?"
Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang
(diharamkan) itu berdosa. Begitu juga
dilakukan pada tempat yang halal, pasti
mendapat pahala. Kamu hanya menghitung
hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan
tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif,
tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri.
Sebaliknya wanita itu
bersikap pemalu dan dapat menahan diri. Karenanya
diharuskan bagi wanita
menerima dan menaati panggilan suami. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis: "Jika si istri dipanggil oleh
suaminya karena perlu,
maka supaya segera datang,
walaupun dia sedang masak." (H.r. Tirmidzi, dan
dikatakan hadis Hasan). Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya
si istri jangan
sampai menolak kehendak suaminya
tanpa alasan, yang
dapat menimbulkan kemarahan atau
menyebabkannya menyimpang kejalan yang tidak baik, atau membuatnya
gelisah dan tegang.
Nabi
saw. telah bersabda: "Jika
suami mengajak tidur
si istri lalu
dia menolak, kemudian suaminya marah
kepadanya, maka malaikat
akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih). Keadaan yang
demikian itu jika
dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit,
letih, berhalangan, atau hal-hal yang
layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar
bahwa Allah swt. Adalah Tuhan bagi
hamba-hambaNya Yang Maha
Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan
menerima uzur hambaNya.
Dan hendaknya hambaNya juga menerima uzur tersebut. Selanjutnya, Islam
telah melarang bagi seorang istri
yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat
pahala puasa.
Nabi
saw. bersabda: "Dilarang bagi si
istri (puasa sunnah) sedangkan
suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
Disamping dipeliharanya
hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak
wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala
hal. Nabi saw.
menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun
malam. Beliau
bersabda: "Sesungguhnya bagi
jasadmu ada hak
dan hagi keluargamu
(istrimu) ada hak."
Abu Hamid
Al-Ghazali, ahli fiqih dan
tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata: "Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-rahiim dan berdoa,
sebagaimana Nabi saw. mengatakan: "Ya
Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau
berikan kepadaku'." Rasulullah
saw. melanjutkan sabdanya,
"Jika mendapat anak maka tidak akan diganggu oleh setan."
Al-Ghazali
berkata, "Dalam suasana ini
(akan bersetubuh) hendaknya
didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup
diri mereka dengan
selimut, jangan telanjang menyerupai
binatang. Sang suami
harus memelihara suasana dan
menyesuaikan diri, sehingga
kedua pasangan sama-sama dapat
menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam
Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie
Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai
sunnah Nabi saw.
dan keterangannya dalam
cara bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu
ialah: 1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
2.
Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3.
Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak
di surga. Ditambah lagi mengenai
manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan
nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong
bagi kedua pasangan.
Nabi saw. Telah menyatakan: "Yang aku
cintai di antara
duniamu adalah wanita
dan wewangian."
Selanjutnya
Nabi saw. bersabda: "Wahai para
pemuda! Barangsiapa yang
mampu melaksanakan pernikahan, maka
hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan
dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul
Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya
diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw.
melakukannya."
Ini
semua menunjukkan bahwa para ulama dalam
usaha mencari jalan baik
tidak bersifat konservatif,
bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau
pendapat masa kini.
Yang dapat
disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam
telah mengenal hubungan
seksual diantara kedua
pasangan, suami istri,
yang telah diterangkan
dalam Al-Qur'anul Karim pada
Surat Al-Baqarah, yang
ada hubungannya dengan peraturan
keluarga.
Firman
Allah swt.: "Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari
puasa, bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah
pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena
itu, Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah kamu,
hingga jelas bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa
itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan
kamu beriktikaf dalam masjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak
ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah
disebutkan, yaitu: "Mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi
mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran.
Oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita
di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah
suci maka campurilah
mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertobat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat
kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemuiNya. Dan berilah
kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s. Al-Baqarah: 222-223).
Maka,
semua hadis yang menafsirkan bahwa
dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan
saja. Selain itu, apa saja yang dapat
dilakukan, tidak dilarang. Pada ayat di
atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu
dengan cara bagaimanapun kamu
kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada
disebutnya masalah dan undang-undang atau
peraturannya dalam Al-Qur'anul
Karim secara langsung, sebagaimana
diterangkan di atas.
No comments:
Post a Comment